Matahari siang menyengat, aku
berjalan terburu-buru agar cepat berlindung dari paparan kehebatan kilaunya.
Kemudian aku duduk dan mulai mengutak-atik handphone, ku intip sebuah pesan
yang masuk berisikan ajakan untuk melihat senja sore ini. Aku menatap plafon
ruang staff fakultas untuk berpikir, kemudian langsung mengiyakan ajakan yang
sudah berkali- kali ku batalkan. Maklum, aku terkadang suka lupa bahkan janji
yang sudah dibuat dari jauh hari hanya karena ajakan dadakan yang terkesan
mendesak.
titik temu dalam senja |
Waktu pun cepat berjalan dan menunjukkan
pukul 16.00 WITA. Aku bersiap untuk pergi, karena kami berjanjian untuk bertemu
di titik pertemuan saja tanpa harus dijemput. Aku pun bertemu dengan mu di
titik itu, mencari zona ternyaman untuk duduk agar bisa bersua. Angin sejuk
menghampiri setiap cerita yang terlontar diantara kita, sang ombak riuh
bersaut-sautan seolah ikut bercengkerama ria, matahari senja pun tak mau kalah
untuk menggoda perbincangan kita dengan menyorotkan cahaya hangatnya.
Senja mulai melakukan atraksinya,
awan pun bergerombol membentuk formasi seolah mendukung untuk menyempurnakan
pertunjukkan sang senja. Dari terik hingga menghangat, matahari mulai turun
dari tahta tertingginya. Sinarnya merekah jingga di ujung sana. Sekali lagi,
aku jatuh cinta pada pemandangan menakjubkan yang tak pernah membosankan itu. Pemandangan
yang seraya meminta untuk dinikmati lagi dan lagi.
Senyum mengembang, lantunan lagu
menemani disela keheninganku dan keheninganmu. Tidak ada kata yang terucap
lagi, aku dan kau terpaku pada jingga di sisi barat bumi. Merekah seperti
bernyawa, kemudian tenggelam karena hanya sementara. Namun ini masih awal
pertemuan, mungkin karena ditengah senja menjadikannya seolah perkenalan yang
sempurna.
Sore itu seakan berbeda, ribuan makna
tersirat dibalik tenggelamnya sang surya. Dan masing-masing manusia mempunyai
ribuan bahkan jutaan spekulasi tentang senja hingga cara menikmatinya. Yang
biasanya aku menikmati waktu di sore hari untuk menyendiri. Tapi kali ini ku
biarkan kau masuk dalam duniaku. Merobohkan dinding imajinasi kesendirianku, kenikmatan
indahnya senja yang biasa ku nikmati sendiri sekarang ku bagi denganmu di sore
itu. Aku tidak tahu mengapa aku mengizinkanmu masuk, atau memang pintuku yang
sedang terbuka hingga kau pun bertamu. Aku merasa berada di atas panggung
cerita beserta skenario yang sudah tercipta. Berada diantara megahnya semesta
dan sebuah takdir yang dipertemukan dalam sebuah kebetulan-kebetulan fana, yang
sebenarnya pun sudah ada. Hanya saja kita belum tau ceritanya, kita belum tau
cara bermainnya.
Langit mulai meredup, lampu-lampu kota
mulai berkerlip menyala. Matahari mulai menghilang dibalik selimutnya. Sampai
aku tak sadar lenganku sudah bersandar pada bahumu. Ah, ini tidak naif. Aku
benar-benar tak sadar, karena terlalu menikmati suasana. Tetapi jantungku
sedikit terpompa lebih cepat ketika ku tersadar, rasanya pipiku merona karena
menahan malu. Namun seolah tak terjadi apa-apa kau tetap duduk asyik menatap ke
arah lautan lepas yang membiru lebam. Menandakan malam mulai hadir untuk
mengisi presensinya hari ini. Dan aku ? entah siapa yang menyuruh lengan ini
untuk tetap melekat dengan bahumu kala itu.
Aku menganggap malam adalah sebuah ruang
luas yang diciptakan sedemikian rupa, kemudian bulan dan jutaan bintang adalah
siswa yang hadir di dalamnya. Aku dan kau pun mulai beranjak meninggalkan titik
temu kita. Awalnya aku berpikir ini hanya akan jadi cerita yang cukup berhenti
sampai di sini. Seperti senja yang sesaat kemudian menghilang, meninggalkan
sebuah cerita disetiap uraian molekul cahaya jingganya. Membuai dengan “rasa”
nyaman kemudian tenggelam bersama harapan.
Tapi ternyata
tidak..........................................
To be continue ‘till we meet again.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar