welcome to my world ! enjoy to read this guys :)

Senin, 14 Agustus 2017

Awal dan Akhir



Aku menganggap malam adalah sebuah ruang luas yang diciptakan sedemikian rupa, kemudian bulan dan jutaan bintang adalah siswa yang hadir di dalamnya. Aku dan kau pun mulai beranjak meninggalkan titik temu kita. Awalnya aku berpikir ini hanya akan jadi cerita yang cukup berhenti sampai di sini. Seperti senja yang sesaat kemudian menghilang, meninggalkan sebuah cerita disetiap uraian molekul cahaya jingganya. Membuai dengan “rasa” nyaman yang kemudian tenggelam bersama harapan.

Tapi kenyataan tak seburuk prasangka ku, malam tak segelap cerita masa laluku, langit masih mampu merajut ceritanya hari itu. Pasca momen senja, langit meredup berganti warna. Bulan menggantikan tugas sang surya, terangnya tak kalah memukau mata. Dengan jutaan bintang yang berada di sisinya

Pergilah kami ke sudut kota sebelah atas, di mana ini adalah tempat baru bagiku, untuk pertama kalinya aku bisa melihat ke bawah yang penuh dengan pemandangan lampu-lampu kota berpendar. Aku tak bisa menyembunyikan senyumku, ini terlalu indah untuk dinikmati sebentar. Tak hanya itu, ketika melihat ke atas jutaan bintang menyambut pandanganku. Ah, aku tak ingin pulang rasanya. Semesta terkadang seromantis ini menciptakan aksaranya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memahami maknanya. Aku pun hanya tau bahwa ini indah walau tak bernama.

Lanjut pada kisahnya, kami membuka bungkusan makanan yang dibeli sebelum sampai disini. Entah apa yang membuatku nyeletuk “Ini mah makan malam mewah namanya”. Dan kamu hanya tertawa mendengar ucapanku yang mungkin terkesan berlebihan. 

Seusai makan, merehatkan perut dengan duduk bersandar di pinggir pagar. Aku mendongak ke atas, ku ulangi lagi kalimatku dalam hati betapa bintang malam itu sangatlah indah. Kembali bercengkerama bercerita tentang hobinya yang selalu menarik buat aku dengarkan.

Cerita, tawa dan canda menghiasi malam itu, dan tak terasa sudah waktunya aku harus bergegas pulang. Sudah jam 10 malam, tapi bintang-bintang justru semakin tampak. Seolah ingin terus dipandang, tak ingin ditinggalkan.

Sesampainya di rumah, pikiranku masih melayang-melayang pada pemandangan yang baru tadi aku saksikan dan cerita yang baru saja aku dengarkan. Hingga akhirnya aku tertidur pulas dengan cepatnya......

Bertemu pagi, ku sapa mentari di ujung sana. Belum muncul seutuhnya, masih bergerak perlahan. Bergegaslah aku mengenakan sepatu, masih setengah tujuh waktu itu. Aku siap untuk lari pagi. 10 menit berselang masuklah pesan ucapan “selamat pagi” darimu, aku tersenyum kemudian refleks untuk memotret matahari di ufuk timur itu lalu ku kirimkan padamu dengan memberi keterangan “selamat pagi”. Perasaan apa ini, bisa-bisanya aku senyum-senyum sendiri. Lalu ku alihkan pikiranku untuk menikmati udara pagi dan terus berlari.

Pasca patah hati, lari adalah hal yang membuat hatiku sedikit lega. Karena move on itu mirip seperti berlari, lurus menatap ke depan, yang kemudian meninggalkan jejak-jejak yang sudah pernah terlewati satu demi satu. Namun bukan berarti hanya menatap ke depan, terkadang perlu menoleh ke belakang untuk mempelajari jejak-jejak kesalahan yang pernah dialami, dan juga melihat sudah seberapa jauh kita melangkah maju melewatinya.

Kemudian kamu hadir, perlahan memberi warna sedikit dalam kelabuku. Diawal senja itu... 

Senin, 07 Agustus 2017

Senja dan Awal Sebuah Pertemuan

Matahari siang menyengat, aku berjalan terburu-buru agar cepat berlindung dari paparan kehebatan kilaunya. Kemudian aku duduk dan mulai mengutak-atik handphone, ku intip sebuah pesan yang masuk berisikan ajakan untuk melihat senja sore ini. Aku menatap plafon ruang staff fakultas untuk berpikir, kemudian langsung mengiyakan ajakan yang sudah berkali- kali ku batalkan. Maklum, aku terkadang suka lupa bahkan janji yang sudah dibuat dari jauh hari hanya karena ajakan dadakan yang terkesan mendesak.
titik temu dalam senja
Waktu pun cepat berjalan dan menunjukkan pukul 16.00 WITA. Aku bersiap untuk pergi, karena kami berjanjian untuk bertemu di titik pertemuan saja tanpa harus dijemput. Aku pun bertemu dengan mu di titik itu, mencari zona ternyaman untuk duduk agar bisa bersua. Angin sejuk menghampiri setiap cerita yang terlontar diantara kita, sang ombak riuh bersaut-sautan seolah ikut bercengkerama ria, matahari senja pun tak mau kalah untuk menggoda perbincangan kita dengan menyorotkan cahaya hangatnya.

Senja mulai melakukan atraksinya, awan pun bergerombol membentuk formasi seolah mendukung untuk menyempurnakan pertunjukkan sang senja. Dari terik hingga menghangat, matahari mulai turun dari tahta tertingginya. Sinarnya merekah jingga di ujung sana. Sekali lagi, aku jatuh cinta pada pemandangan menakjubkan yang tak pernah membosankan itu. Pemandangan yang seraya meminta untuk dinikmati lagi dan lagi.

Senyum mengembang, lantunan lagu menemani disela keheninganku dan keheninganmu. Tidak ada kata yang terucap lagi, aku dan kau terpaku pada jingga di sisi barat bumi. Merekah seperti bernyawa, kemudian tenggelam karena hanya sementara. Namun ini masih awal pertemuan, mungkin karena ditengah senja menjadikannya seolah perkenalan yang sempurna.

Sore itu seakan berbeda, ribuan makna tersirat dibalik tenggelamnya sang surya. Dan masing-masing manusia mempunyai ribuan bahkan jutaan spekulasi tentang senja hingga cara menikmatinya. Yang biasanya aku menikmati waktu di sore hari untuk menyendiri. Tapi kali ini ku biarkan kau masuk dalam duniaku. Merobohkan dinding imajinasi kesendirianku, kenikmatan indahnya senja yang biasa ku nikmati sendiri sekarang ku bagi denganmu di sore itu. Aku tidak tahu mengapa aku mengizinkanmu masuk, atau memang pintuku yang sedang terbuka hingga kau pun bertamu. Aku merasa berada di atas panggung cerita beserta skenario yang sudah tercipta. Berada diantara megahnya semesta dan sebuah takdir yang dipertemukan dalam sebuah kebetulan-kebetulan fana, yang sebenarnya pun sudah ada. Hanya saja kita belum tau ceritanya, kita belum tau cara bermainnya. 

Langit mulai meredup, lampu-lampu kota mulai berkerlip menyala. Matahari mulai menghilang dibalik selimutnya. Sampai aku tak sadar lenganku sudah bersandar pada bahumu. Ah, ini tidak naif. Aku benar-benar tak sadar, karena terlalu menikmati suasana. Tetapi jantungku sedikit terpompa lebih cepat ketika ku tersadar, rasanya pipiku merona karena menahan malu. Namun seolah tak terjadi apa-apa kau tetap duduk asyik menatap ke arah lautan lepas yang membiru lebam. Menandakan malam mulai hadir untuk mengisi presensinya hari ini. Dan aku ? entah siapa yang menyuruh lengan ini untuk tetap melekat dengan bahumu kala itu.

Aku menganggap malam adalah sebuah ruang luas yang diciptakan sedemikian rupa, kemudian bulan dan jutaan bintang adalah siswa yang hadir di dalamnya. Aku dan kau pun mulai beranjak meninggalkan titik temu kita. Awalnya aku berpikir ini hanya akan jadi cerita yang cukup berhenti sampai di sini. Seperti senja yang sesaat kemudian menghilang, meninggalkan sebuah cerita disetiap uraian molekul cahaya jingganya. Membuai dengan “rasa” nyaman kemudian tenggelam bersama harapan.
Tapi ternyata tidak..........................................

To be continue ‘till we meet again.