Aku menganggap malam adalah sebuah
ruang luas yang diciptakan sedemikian rupa, kemudian bulan dan jutaan bintang
adalah siswa yang hadir di dalamnya. Aku dan kau pun mulai beranjak
meninggalkan titik temu kita. Awalnya aku berpikir ini hanya akan jadi cerita
yang cukup berhenti sampai di sini. Seperti senja yang sesaat kemudian
menghilang, meninggalkan sebuah cerita disetiap uraian molekul cahaya
jingganya. Membuai dengan “rasa” nyaman yang kemudian tenggelam bersama
harapan.
Tapi kenyataan tak seburuk prasangka
ku, malam tak segelap cerita masa laluku, langit masih mampu merajut ceritanya
hari itu. Pasca momen senja, langit meredup berganti warna. Bulan menggantikan
tugas sang surya, terangnya tak kalah memukau mata. Dengan jutaan bintang yang
berada di sisinya
Pergilah kami ke sudut kota
sebelah atas, di mana ini adalah tempat baru bagiku, untuk pertama kalinya aku
bisa melihat ke bawah yang penuh dengan pemandangan lampu-lampu kota berpendar.
Aku tak bisa menyembunyikan senyumku, ini terlalu indah untuk dinikmati
sebentar. Tak hanya itu, ketika melihat ke atas jutaan bintang menyambut
pandanganku. Ah, aku tak ingin pulang rasanya. Semesta terkadang seromantis ini
menciptakan aksaranya. Hanya orang-orang tertentu saja yang bisa memahami
maknanya. Aku pun hanya tau bahwa ini indah walau tak bernama.
Lanjut pada kisahnya, kami
membuka bungkusan makanan yang dibeli sebelum sampai disini. Entah apa yang
membuatku nyeletuk “Ini mah makan
malam mewah namanya”. Dan kamu hanya tertawa mendengar ucapanku yang mungkin
terkesan berlebihan.
Seusai makan, merehatkan perut
dengan duduk bersandar di pinggir pagar. Aku mendongak ke atas, ku ulangi lagi
kalimatku dalam hati betapa bintang malam itu sangatlah indah. Kembali
bercengkerama bercerita tentang hobinya yang selalu menarik buat aku dengarkan.
Cerita, tawa dan canda menghiasi
malam itu, dan tak terasa sudah waktunya aku harus bergegas pulang. Sudah jam
10 malam, tapi bintang-bintang justru semakin tampak. Seolah ingin terus
dipandang, tak ingin ditinggalkan.
Sesampainya di rumah, pikiranku
masih melayang-melayang pada pemandangan yang baru tadi aku saksikan dan cerita
yang baru saja aku dengarkan. Hingga akhirnya aku tertidur pulas dengan
cepatnya......
Bertemu pagi, ku sapa mentari di
ujung sana. Belum muncul seutuhnya, masih bergerak perlahan. Bergegaslah aku
mengenakan sepatu, masih setengah tujuh waktu itu. Aku siap untuk lari pagi. 10
menit berselang masuklah pesan ucapan “selamat pagi” darimu, aku tersenyum
kemudian refleks untuk memotret matahari di ufuk timur itu lalu ku kirimkan
padamu dengan memberi keterangan “selamat pagi”. Perasaan apa ini, bisa-bisanya
aku senyum-senyum sendiri. Lalu ku alihkan pikiranku untuk menikmati udara pagi
dan terus berlari.
Pasca patah hati, lari adalah hal
yang membuat hatiku sedikit lega. Karena move on itu mirip seperti berlari, lurus
menatap ke depan, yang kemudian meninggalkan jejak-jejak yang sudah pernah terlewati
satu demi satu. Namun bukan berarti hanya menatap ke depan, terkadang perlu
menoleh ke belakang untuk mempelajari jejak-jejak kesalahan yang pernah
dialami, dan juga melihat sudah seberapa jauh kita melangkah maju melewatinya.
Kemudian kamu hadir, perlahan memberi
warna sedikit dalam kelabuku. Diawal senja itu...